Sudah cukup lama saya ingin menulis tentang Irama Lautan Teduh, namun apa dikata, baru sekarang ini punya waktu dan perlahan mengurut kejadian demi kejadian yang sangat istimewa di hidup kami (Intan, Aria dan Teduh).
Awalnya kami ingin menunda punya anak hanya setahun karena berencana pergi ke Eropa. Namun hingga tahun ketiga pun, belum ada tanda-tanda bakal hamil. Pernah suatu ketika saya menjadi vegetarian selama 6 bulan dan menstruasi sangat tidak teratur. Sampai masuk hampir pernikahan tahun keempat, kami coba untuk cek kesehatan dan konsultasi ke dr Dradjat di Sam Marie atas saran Angga dan Anggia, sepupu saya. Lucu banget, dr Dradjat meminta Aria untuk menambal gigi dan memakai kacamata. Setelah dicek ternyata Aria matanya silinder. Lalu hasil LAB keluar, imun saya lebih tinggi daripada Aria sehingga membutuhkan suatu proses pengenalan darah melalui imunisasi, namanya ILS (Imunisasi Leukosit Suami). Dalam perjalanan ini, kami tanpa sengaja bertemu dengan bang Yanto yang diberi anugerah sebagai terapis oleh Tuhan (healer), ia memprogram ulang energi dan alirannya yang hanya terpusat di kepala saya. Kemungkinan besar, saya yang sering berpikir dan mempergunakan otak lebih besar daripada organ lainnya, memiliki kekurangan di area reproduksi. Setelah semuanya selesai niatnya kami ingin mengambil program hamil di Sam Marie. Tapi sebelumnya saya dan Aria sepakat, bisa atau tidak bisa kami punya anak, tak akan menjadi kendala, masih bisa adopsi atau pelihara hewan, kami ikhlas karena ini adalah sebuah rezeki dari Tuhan, tak perlu dipaksakan.
Lalu hidup mengalir laksana tak ada yang dinanti, kami hidup normal tanpa mengingat apa yang sudah dilakukan. Beberapa bulan setelahnya, di bulan Maret 2017, badan saya gaenak, lemah lesu dan mual, padahal sudah siap berkemas menuju ulangtahun Substore Tokyo. Periksa testpack iseng-iseng, gamau terlalu berharap karena ini sudah 5 kalinya periksa. Waaaaaa, ternyata positif, usianya sudah 5 minggu.
Kami berdua pejamkan mata berterimakasih pada Tuhan dan merasa seperti ada aliran kebahagiaan yang damai, bukan riang berlebih, ternyata bahagia atas kesabaran sebuah penantian rasanya bisa sesejuk ini.
Datanglah kami ke dr Dradjat untuk di USG. Untungnya beliau tidak melarang kami untuk pergi ke Jepang. Wihii, kali pertama nih kami vakansi bertiga.
Di usia hamil muda, kami bertemu ibu Merry Hoegeng, istri dari jendral Hoegeng. Ia bercerita mengenai sejarah musik Hawaii. Kala itu pak Hoegeng menamakan musik pesisir ini dengan nama Irama Lautan Teduh, sebenar-benarnya ini adalah musik pesisir area Pasifik yang bisa ditemui di daerah pantai tak hanya di Hawaii saja. Singkat cerita, karena kami suka pak Hoegeng, musik Pacific Island, dipilihlah Irama Lautan Teduh sebagai nama anak pertama kami. Teduh panggilannya. Ted kalau dia tinggal di NYC, Eed kalau di Majalengka, Duduh kalau di Tasikmalaya, apapun panggilannya dipastikan kelak ia adalah anak yang memiliki senyum ramah terindah.
Masa-masa kehamilan dilalui dengan sukacita, di bulan ke 6 dan ke 7, kami sempat jalan-jalan lagi ke Bangkok, Chiang Mai dan Singapura, wisata kuliner, keliling record store, tempat kopi atau sekedar cicip es krim pinggir jalan.
Saat itu perencanaan persalinan sudah benar-benar rapi. Kami sudah bulat tekad ingin “water birth”, sejak pacaran kami sudah diberi rezeki bertemu ibu Robin Liem dan merasa terinspirasi. Beliaulah yang membukakan pengetahuan baru tentang ayah alami, ibu alami dan anak alami melalui bukunya. Di usia kehamilan 5 bulan saya sudah mengontak bidan Yuli dari Rumah Puspa dan dr Musa sebagai back up plan dari Rumah Sakit Asih. Di usia 36 minggu sempat meminta semangat pada mas Reza Gunawan dan Teh Dewi Lestari supaya bisa lahiran di rumah.
Sabtu, 11 November, kami berencana untuk USG dan berkenalan dengan dr Musa. Pulangnya teman-teman sudah menunggu untuk Baby Shower sambil makan-makan ala Meksiko (ini bulannya telat sih tapi bikin happy banget).
Malamnya sekitar pukul 4 lebih menuju dini hari, saya merasa pipis seperti ngompol yang tidak bisa dikontrol. Mulai agak cemas, jangan-jangan ini air ketuban. Saking santainya, saya bilang Aria lalu ketiduran lagi karena ngantuk, teman-teman baru pulang jam 2 pagi. Bangun tidur ternyata benar, airnya makin banyak, seperti rembesan namun jernih, buru-buru telpon ibu bidan untuk segera ke rumah. Bu bidan menyuruh saya untuk terus minum air kelapa agar tidak kekurangan air ketuban. Jam 12 siang tim dari Rumah Puspa datang dan kami berdua diperlakukan dengan penuh kasih sayang, dipersiapkan untuk menyambut anak kesayangan yang dinanti. Berbagai cara dilakukan untuk menambah bukaan dan memancing kontaksi, dari pijat hingga bantuan bola semua saya coba. Sayangnya hingga keesokan hari pun bukaan tidak bertambah, mentok di bukaan 2. Minggu pukul 4 sore, bu bidan menyarankan untuk cek kadar dan kuantitas air ketuban ke Rumah Sakit Asih sekaligus minta saran dari dr Musa. Intuisi saya menginginkan USG, tapi sayangnya tidak didengar, malah langsung menuju ruang induksi. Mengingat ketuban sudah pecah duluan, tim medis Asih terlihat agak panik dan memberikan saya infus yang sudah dicampur obat induksi. Sakitnya bukan kepalang. Saya kesakitan hingga sakit perut dan buang air besar di barak tunggu sebelum ruang tindakan. Tim dari Rumah Puspa akhirnya menjadi doula saya. Tanpa mereka mungkin hati dan jiwa saya dan Aria sakit. Merekalah yang menguatkan kami. Tapi sakitnya saya kalau menurut Aria tampaknya dibatas kewajaran, pukul 12 malam saya menjerit-jerit kesakitan tanpa jeda hingga jam 2 malam. Bukaan sudah sampai di 10 dan kepala bayi tidak dapat dijangkau, masih terlalu jauh. Saya dan dr Musa memutuskan untuk caesar, bukan saja karena tidak kuat menahan sakit dan kontraksi sudah cukup lama, saya sudah ikhlas untuk mengambil jalan termudah agar anak saya tidak terlalu lama menunggu. Hari Selasa, 14 November 2017, 03.30 WIB, telah lahir Irama Lautan Teduh dalam kondisi sehat, berat badan 2,9 kg dan tinggi 50cm.
Teduh tidak bisa langsung di IMD, kami hanya sempat saling temu pipi dan akhirnya bertemu lagi di sore hari untuk inisiasi menyusui yang pertama kali. Tangis haru dan perasaan campur aduk menghiasi hari, Aria terlihat bahagia namun hati dan jiwanya masih tercabik, ia sempat cerita kalau ini adalah pengalaman yang sangat traumatik baginya, melihat saya melewati semua ini, persalinan yang cukup sulit, saat makan tanpa saya, ia masih menitikan air mata mengingat kejadian semalam.
Saya ikhlas, melewati semua perjalanan persalinan yang jauh dari harapan. Persalinan penuh cinta yang diidamkan mesti saya relakan, saya mesti bersyukur Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa menghadirkan Teduh dengan caranya yang Ia pilih, sebagai bentuk pembelajaran bagi kami, cahaya datang bisa dari mana saja, dari cara terpilu sekalipun.
Tiga hari di Asih lalu pulanglah kami. Teduh berkenalan dengan rumah, tidurnya pulas sekali, ia lebih banyak tidur daripada bangun. Dianjurkanlah kami kembali ke Asih keesokannya dan bertemu dengan dr Keumala, ia memvonis anak kami bilirubin tinggi dan mesti disinar biru, kami mengelak cantik dan lebih memilih untuk menempuh cara tradisional, menyusuinya dan berjemur di pagi hari. Bukan saja karena biaya sinar biru seharinya 2,5 juta tapi karena kami lebih percaya kekuatan alam akan membantu Teduh lebih kuat menghalau bilirubin. Alhasil Teduh lebih sering brut brut, beginilah bentuknya kalau dia lagi brut brut..
Lagi-lagi dengan bantuan abang Yanto, Teduh kondisinya membaik, rajin menyusu dan istirahatnya cukup. Sebulan pertama kami bersusah payah beradaptasi, bulan kedua mulai ringan dan tidur teratur karena dapat celah strateginya, hampir masuk bulan kedua kami beropini Teduh sangat suka air, ia sangat suka saat mandi dan setelah mandi.
Kemudian dicobalah berenang di kamar mandi berlanjut seminggu setelahnya berenang di kolam renang di atap rumah yang memang dibuat oleh Papah Mertua untuk berenang cucu-cucunya. Teduh senang bukan kepalang.
Teduh kini sangat sehat, periang dan suka jalan-jalan. Kemarin ia tercatat sebagai peserta Konferensi Musik termuda di Ambon dan beberapa kali ikut ayah ibunya bekerja serta memutar musik di kawinan. Terjauh kami bekerja di kawinan teman di Jogja baru-baru ini.
Ahhh Teduh yang menggemaskan. Ia mudah tertidur setiap saya nyanyikan lagu Bubuy Bulan serta mendengar lagu Payung Teduh, mungkin karena karma cantik yang lahir dari perasaan gemas kalau orang-orang menyangka nama Teduh diambil dari band pengusung lagu “Akad” itu. HAHAHA..
Oiya, untuk yang penasaran dengan kegemasan Teduh, silakan ikuti Instagramnya di @iramalautanteduh, si pipi bakso ikan tanpa kuah siap menghiburmu saat sendu.